Kamis, 02 Juli 2009

MEDIA TRADISIONAL DAN BIAS JENDER

Memahami bagaimana ada bias jender dalam media tradisional.
Dalam pertunjukan ketoprak yang ceritanya banyak diilhami dari cerita Babad Tanah Jawa maka dapat disaksikan adanya peran tokoh wanita yang dikontruksi tidak secara utuh. Artinya hadirnya tokoh wanita digambarkan dalam makna kias, atau seakan-akan bila dipahami secara harfiah maka peran wanita seperti tidak ada atau sengaja tidak ditampakkan. Contoh pertama dalam penokohan Sekar Pembayun, seorang gadis muda yang dalam sejarah menurunkan raja-raja besaaar di Mataram, artinya keberadaan wanita ini sebenarnya sangat penting. Kenyataannya dalam cerita babad wanita iti digambarkan sebagai dawegan atau kelapa muda. Sedangkan tokoh lain pria dalam lakon itu digambarkan secara jelas figurnya sebagi seorang laki-laki yang mempunyai andil penting alam sejarah mataram seperti ki Ageng Mangir dan Ki Ageng Pemanahan. Kedua dalam lakon Aryo Penangsang, maka kelemahan Aryo Penangsang digambarkan dengan kesukaannya kepada wanita muda yang cantik dan lincah digambarkan sebagi kuda betina yang binal. Ketiga, dalam penokohan cerita Kali Nyamat, maka pengorbanan seorang wanita yang rela menyerahkan jiwa dan raga kepada penguasa, pengorbanan luar biasa pada masa itu digambarkan dengan bertapa tanpa busana dan sekujur tubuhnya hanya ditutupi rambutnya saja. Keempat, cerita tentang Roro mendut, sebagai putrid boyongan yang berjuang sekuat tenaga mempertahankan hidup karena ingin mandiri dan tidak tergantung dengan Tumenggung Wiroguno digambarkan sebagai wanita yang menggoda dan penghibur pria-pria dengan jualan cerutu.
Cerita–cerita babad tanah Jawa yang memang didominasi oleh cerita pria ini menggambarkan struktur pemerintahan patriarchad di kerajaan mataram dimana kekuasaan dalam system social di pimpin oleh seorang raja, bukan ratu. Pimpinan keluarga adalah pria. Sehingga dapat dipahami bahwa gambar raja-raja Mataram selalu sendiri tidak pernah bergambar bersama seorang istri sebagai pendamping hidupnya. Wanita tidak berperan dalam ranah kekuasaan publik namun terdomestikan. Wanita disebutkan namanya apabbila dia adalah ibu dari seorang raja atau ibu suri, tetapi peran ibu suri dalam jalannya pemerintahan tidak pernah disebutkan dalam sejarah atau kisah. Wanita lainnya yang sering disebut dalam ketoprak adalah puteri raja yang cantik yang digambarkan akan menikah, memilih suaminya dengan cara mengadakan sayembara.
Simbolisme di media material tentang bias jender ini juga tampak dalam bentuk seperti makna tugu peringatan, atau bangunan peringatan. Bangunan tugu merupakan perkembangan bangunan Yoni, bentuknya seperti alu atau alat penumbuk padi, sebuah simbol maskulin. Bangunan tugu monas juga diilhami dari Yoni ini. Begitu juga untuk pusaka. Pusaka-pusaka baik itu berupa senjata atau benda material lain diyakini memiliki kekuatan. Maka kemudian disebutnya Kyai atau Ki. Misalnya tombak Kyai Plered. Pusaka dan kekuatan dimaksudkan punya simbol maskulin.
Sementara itu dalam cerita pewayangan, lakon goro-goro, dengan hadirnya punokawan, keempatnya adalah pria, punokawan adalah simbol pengejawantahan para dewa yang turun kedunia untuk memberikan nasehat kepada manusia. Dan itu digambarkan dalam pewayangan Jawa dengan wujud pria-pria karena dewa tidak mengenal jenis kelamin perempuan. Demikian juga tokoh Kunti sebagai ibunda Pandawa, digambarkan sebagai ibu yang suci, lembut, penuh kasih. Tokoh ini ditampilkan karena dia adalah ibunda Pandawa . Sementara Sumbadra dan Srikandi adalah tokoh wanita yang banyak memberikan andil dalam peperangn tetapi peperengan itu sendiri milik Pandawa dan Kurawa, para pria-pria. Dalam cerita wayang juga muncul tokoh Drupadi, seorang wanita cantik istri pandawa yang kemudian dalam pewayangan Jawa disebut sebagai istri Yudistira. Drupadi menggambarkan simbol, kedudukan wanita yang lemah ketika ia dijadikan bahan taruhan permainan dadu oleh para Pandawa. Selanjutnya Drupadi menjadi bahan pelecehan seksual bagi Kurawa.
Ada hal menarik terutama dalam pewayangan Jawa, yaitu wayang wong, maka tokoh Janoko, atau Arjuna atau Permadi ini diperankan oleh wanita. Wanita dianggap mewakili sifat kelembutan Janoko. Meskipun dalam kancah peperangan itu ada wanita yaitu pemeran Janoko, namun pada kenyataannya peranan dalam peperangan itu adalah milik Janoko.
Tari-tarian adalah simbol kelembutan bagi para wanita, meski ada penari pria, tetapi penari pria digambarkan dalam tari yang penuh keperkasaaan seperti tari Satria, tari Gabiranom, tari Lenggotbowo dan sebaginya. Sedangkan para wanita menari untuk jenis tarian feminine seperti tari bondan, gambyong, golek, atau bedhoyo. Untuk bedhoyo ini sebagian juga ditarikan para pria. Akan tetapi tari-tari yang diperankan oleh para wanita ini menggambarkan kedomestikan peran wanita sebagai perhiasan, penghibur, pengasuh anak, pesolek dan istri yang baik.
Penokohan wanita sebagi pimpjnan atau ratu justru muncul pada keyakinan mistik tentang keberadaan Nyi Roro Kidul. Penguasa laut selatan yang diyakini punya hubungan dengan raja Mataram. Dalam gambaran di pertunjukkan ketoprak, Ratu kidul ini digambarkan sebagai wanita cantik yang sakti yang disegani bahkan ditakuti oleh rakyat di daratan.
Keberadaan akan wanita sakti juga muncul pada hadirnya dewi Sri, dewi yang diyakini memberikan kesuburan pada tanaman padi rakyat. Padi yang tumbuh subur dan hasil panen yang melimpah adalah karena penjagaan Dewi Sri, sehingga rakyat perlu pengadakan acara pesta panen atau upacara bersih desa agar peanduduik menjadi makmur murah sandang pangan dan terhindar dari wabah penyakit.
Khitanan, sebagai upacara ritual bagi perjaka yang memasuki akhil baliq digambarkan dengan aneka sesaji sebagai simbol maskulinisme. Betapa besar penghormatan penduduk akan keberadaan acara ini. Sebagai tanda seorang perjaka sudah dewasa, memasuki dunia pria dewasa, menggunakan upacara sebagai penghormatan. Jarang seperti ini pada wanita.****************

1 komentar:

  1. yoni itu bukannya simbol feminin?? Kalau lingga maskulin...setahu saya begitu. Tapi menurut saya, Roro mendut bukan wanita penggoda, hanya karena ia menawarkan rokok. Ingat, pada masa itu adalah masa Hindhu (setidaknya budayanya masih Kejawen) dan menurut saya Roro Mendut bukan wanita penggoda, hanya saja cowoknya (yang merupakan pencatat sejarah) yang mempersepsikan hal itu. Menutut saya begitu, bahkan di era moderen seperti ini, kita yang hidup di jaman kesetaraan jender, kita tidak memahami secara batiniah bagaimana sulitnya hidup di jaman di mana wanita masih sering dianggap sebagai 'penggoda'. Jaman sekarang pun wanita selalu dianggap penggoda. Buktinya dari pengalaman saya sendiri sebagai Muslimah bersuara di kamar saja tidak boleh, hanya karena kamar kos saya dekat dengan kamar kos cowok (kos2annya beda, tapi karena kumuh jadi dindingnya tipis banget). Katanya dia ga bisa sholat khusuk kalo denger saya bicara. Padahal bicaranya juga biasa aja...itu kan bukan salah saya. Nah itu salah satu alasan mengapa kita sering dimarginalkan. Tapi menurut saya wanita Jawa masih mending dibandingkan stereotype wanita di Eropa yang selalu disamaratakan dengan penggoda untuk masuk neraka.

    BalasHapus