Kamis, 02 Juli 2009

BAGAIMANA BAHASA DIGUNAKAN OLEH ORANG JAWA UNTUK MENGEKSPRESIKAN DIRINYA

Disarikan dari buku Kuasa kata dan Mistisisme Jawa
Oleh : Dian Marhaeni K
Pada mulanya bahasa digunakan sebagai
a. Bahasa digunakan sebagai simbol kekuasaan.
• Pemakaian nama-nama raja Mataram di Jawa mengekspresikan kekuatan, seperti Amangkurat, Pakubuwono, Hamengku Buwono, Paku Alam, yang maknanya menguasai dunia atau alam semesta.
• Bahasa dipergunakan untuk mengungkapkan cerita-cerita sekitar kehidupan raja atau para pemimpin. Pertama adalah cerita-cerita bahwa dia adalah keturunan raja. Di zaman moderen sekarang pun masih banyak dijumpai orang Jawa yang mengaku-ngaku keturunan Sultan Agung dari dinasti Mataram. Demikian juga Sukarno mengaku keturunan raja Singaraja, Bali Utara, prabu Jayabaya dari kediri dan pewarta agung Sunan Kalijogo. Demikian ada desas desus bahwa Suharto adalah anak Almarhum Sultan Hamengku Buwono VIII. Kedua pada cerita-cerita tentang kesaktian. Moertono menulis tentang Wahyu. Wahyu digambarkan dalam wujud dan bentuk yang berbeda-pendar yang terang, suatu bintang tapi yang paling sering dilihat adalah bola cahaya atau andaru atau pulung yang berwarna biru, hijau atau putih mengkilat, melintas cepat menembus langit malam. Hal ini diceritakan dalam pidato Sukarno tahun 1963, yang berbicara panjang lebar tentang teja. Kehadiran kuasa seorang pimpinan sering ditandai dengan teja ini. Seperti Amangkurat III yang kehilangan cahya atau teja saat diturunkan dari tahta atau saat Amangkurat II pada saat ia memutuskan melawan Trunajaya dan mempertahankan kekaisaran Mataram. Ketiga adalah cerita mengenai benda pusaka atau pemilikan peninggalan benda-benda-benda keramat seperti gong, keris, tombak dan sebagainya oleh para raja. Keempat adalah cerita tentang kekuatan seksualitas dengan beristri lebih dari satu sebagai simbol kesuburan. Seperti kisah para raja Jawa atau Sukarno sendiri. Pembangunan Monas adalah simbol maskulinisme ini.
• Ungkapan tentang kesuburan kemakmuran dan kelarasan (ketentraman dan ketertiban sebagaimana terungkap dalam motto kuno tata tentrem kerto raharjo.
b. Eksistensi budaya, yang dinyatakan bahwa, karakter sangat memusat alam pikiran tradisional Jawa dapat dilihat dengan pada pembagian dunia, Jawa dan Sabrang. Adanya pemusatan pikiran yang tersirat dalam cerita wayang Jawa, dalam tradisi sejarah bahwa nama imperium dan kerajaan selalu menurut nama ibukotanya. Seperti Majapahit, Singasari, Demak, dan kediri (pemusatan pikitan).
• Kraton Yogyakarta dan Solo akan menyebut nama nagari untuk ibukotanya dan kota lain dengan menyebut nama kotanya.
• Konsep mandala, Lingkaran, pengaruh, kepentingan dan ambisi yang merupakan hubungan geopolitik perbatasan luar negeri. Yang merupakan pemujaan ekspansi, , pergulatan untuk mencari eksistensi, pernyataan diri dan dominasi dunia. Batas-batas negara tidak pernah disebut karena kekuatan penguasa akan terus wibawa apabila meluaskan wilayah. Sehingga tidak mengenal batas territorial.

c. Mengagungkan penguasa, tercermin dalam ungkapan bahasa raja sewu nagara nungkul (sujud)
d. Lambang eksistensi golongan elit, Contohnya adalah penggunaan bahasa Belanda digunakan untuk simbol eksistensi golongan priyayi dan bangsawan. Bahasa Belanda secara umum dimanfaatkan untuk mengindikasikan leluhur yang terpelajar.

e. Memamerkan kekuatan penguasa, bahasa dimasa Sukarno digunakan untuk mengkonsentrasikan dan memamerkan kuasa yang diserap dari berbagai kata-kata yang penuh kuasa. Seperti Pancasila, revolusi, Saptamarga dan sebagainya.
• Gaya retorika tradisional Sukarno mengagumkan, memperbesar dampak pengaruh politik saat tampil dalam upacara, secara keseluruhan.
• Sepi ing pamrih rame sebuah slogan bahasa jawa yang menunjukkan nilai dan norma Jawa yang diam tetapi cekatan dalam bekerja.

f. Ekspresi emosi di masa revolusi, bahasa Indonesia yang menggetarkan secara emosional muncul pada masa revolusi seperti, yel-yel merdeka, rakyat, perjuangan, pergerakan, kebangsaan, kedaulatan, semangat dan revolusi.
g. Cermin karakter sosiologis dan cultural, Pembelahan yang terjadi pada kata-kata emosional mencerminkan karakter sosiologis dan cultural pasca revolusi Indonesia. Bahwa sebagai identitas golongan, seperti pada kata aksi yang pertama digunakan oleh komunis. Atau makana kata Bung untuk menyebut Bung Karno, Bung Hatta dan Bung Tomo yang telah berubah bung menjadi panggilan orang tak dikenal.
h. Cermin kemabukan ideologis elit penguasa Jawa, Herbert Luethy bahwa bahasa publik tentang politik kontemporer adalah gado-gado dari ungkapan irasional yang muluk-muluk yang mengarah pada kemabukan ideologis dan sinkretisme magis yang mengekspresikan obsesi elit Jawa. Sementara Clifford Geertz mengakui sebagai ketidak masuk akalan.
Makna penggunaan makna bahasa era transisi
• Bahasa Arab, melarang penggunaaan mantra syiwa lalu mengubah Al Qur’an sebagai sebuah buku mantra.
• Teka-teki kalimosodo Pusaka Yudistira dalam pewayangan dipakai menerjemahkan kebudayaaan pra Islam. Al Quran sebagai rambu jalan raya keagamaan.

Ungkapan identitas yang penuh kiasan sebagai gaya politik
• Penggunaan bahasa Jawa ungkapan identitas Jawa. Dengan kesamaan bunyi dalam onomatope yang bermakna kias dan kekayaan kosakatanya. Seperti kata-kata dalam wangsalan. Ron ing mlinjo artinya kepingin ngaso karena ron mlinjo itu so. Itu pemaknaaan Jawa akan keterkaitan realitas. Sesuatu yang mendasar dalam gaya politik Jawa. Dalam pergaulan social Jawa tekanannya adalah kesenjangan antara ekspresi muka dan dan perasaaan. Bagaimana kondisi emosi seseorang, wajah harus menunjukkan ekspresi yang pantas.

Bahasa tanda kekuasaan atau hierarki tertentu.
• Dalam hierarki kedudukan pamong praja, tulisan adalah tanda dari suatu kekuasaaan yang tidak dapat dimasuki. Dalam bahasa jawa cerminan statifikasi muncul dalam kromo dan ngoko. Kromo merupakan bahasa priyayi untuk menekankan peningkatan kehierarkian. Kromo intinya adalah bahasa kehormatan , penguasaan kosakatanmya memerlukan tingkat pendidikan yang tinggi. Sedangkan ngoko adalah lebih lugas, tajam dan jenaka. Ngoko digunakan untuk meniadakan hierarki social.
• Penggunaan Bahasa Jawa menunjukkan hierarki. Seperti ngoko, kromo madyo dan kromo Inggil. Pada golongan elit ada nuansa kehalusan dalam mengungkapkan keinginan melalui bahasa.
• Kata dalam bahasa Jawa menujukkan simbol kedudukan, usia, keakraban, formalitas, jarak social dan peringkat social seseorang dalam masyarakat Jawa.
• Bahasa dalam implementasinya mencerminkan hormat atau penghormatan. Dan penghormatan ini sebagai simbol kerukunan pada masyarakat Jawa. Misalnya tradisi perintah dalam bahasa Jawa. Berupa perintah yang tidak langsung. Perintah di tawarkan dengan bahsa permintaan. “perintah tetapi bukan perintah”. Penggunaan bahasa dalam masyarakat Jawa sudah terpola mengikuti sistematika tertentu sesuai paugeran budaya Jawa.

Munculnya Bahasa Melayu sebagai simbol demokrasi, kesetaraan dan komunikasi sederhana antar golongan.
• Simbol kesetaraan dan demokrasi muncul dengan Bahasa Melayu yang cukup sederhana, luwes dan cepat berkembang menjadi bahasa politik moderen tanpa cirri tradisional yang kuat, bahasa interetnis yang nyaris tanpa status. Bahasa itu memiliki rasa bebas dan demokratis. Di aspirasikan untuk norma-norma kesetaraan.

Bahasa Indonesia, logat Jakarta sebagai sarana mengkritik pemerintah
• Sindiran, sarkasme dan ledekan, Bahasa (Jakarta) digunakan untuk komentar miring, sarkasme dan ledekan dalam kolom pojok koran metropolitan. Pojok menulis dengan istilah “ masuk kantong, sepak ke atas, nyatut dan jatuh ke kasur atau demokratis yang maknanya dia mau gratis.” Sebuah fenomena bahwa bahasa sudah menjadi ungkapan untuk mengkritik pemerintah atau penguasa.
• Bahasa Indonesia kontemporer sebagai sautu kegiatan usaha yang bagai kepiawaian krisis budaya yang dasyat.

Hubungan antara bahasa Indonesia dengan bahasa Jawa adalah sebuah indicator dari kondisi psikologis dan politis suatu bangsa. Bahasa Jawa pada dasarnya mencerminkan suatu upaya pengagungan dan pengkunoan kosakata. Munculnya bahasa kromo dan ngoko adalah cerminan itu. Dan yang paling penting adanya unsur hierarki penggunaan bahasa.
Imagi politik Jawa, mencari pengulangan atau refleksi.
Kosa kata bahasa politik Indonesia didominiasi oleh kata-kata tersirat maupun tersurat yang menghadirkan imagi, misalnya penggunaan kata dalang, wayang, Durna, gara-gara, perang tanding dan lain-lain. Terbuka kedok. (permainan politik) merupakan pencerminan bahasa yang terbuka, bebas, penuh kritik.******

Tidak ada komentar:

Posting Komentar