Kamis, 02 Juli 2009

Implementasi Norma, Nilai, dan cara Berkomunikasi Orang Jawa

Berdasarkan buku Abangan, Santri, dan Priyayi (Clifford Geertz)
Dan Buku Kebatinan dan Hidup Sehari-hari orang Jawa ( Niels Mulder)

• Pada pelaksanaan acara selametan kelahiran, khitanan, perkawinan dan upacara kematian adalah nilai yang mencerminkan kehidupan masyarakat Jawa yang sangat guyup, rukun, saling bekerjasama dan saling tenggang rasa. Dalam kehidupan para santri, abangan dan priyayi sebagai representasi masyarakat Jawa tidak menunjukkan adanya perbedaan yang berarti itu artinya mau tidak mau ketiga kelompok tersebut tidak ada alasan untuk datang di acara Selametan. Meskipun pada pelaksanaanya di masing-masing kelompok memang sudah ada sedikit perubahan. Misalnya dalam upacara selametan, kaum abangan akan lebih orientasi ke adat, status social pada masyarakat abangan masih sangat dijunjung tinggi. Hal ini tampak pada uba rampe selametan. Pada hajatan kaum abangan lebih lengkap, rumit, dan mistik. Didalam perkakas dam macam uba rampe terdapat makna simbolik. Seperti makna pemujaan kepada yang maha kuasa yang diimplementasikan dalam wujud tumpeng kerucut.
Kelompok santri yang berbasis di pesantren mereka akan lebih praktis. Pelaksanaan prosesi upacara kelahiran, khitan, perkawinan dan upacara kematian lebih praktis dan sudah memulai meninggalkan adat setempat. Upacara lebih banyak dalam bentuk melantunkan doa-doa dan mengambil tata upacara yang wajib saja sesuai syariat agama. Hal ini karena didukung oleh keyakinannya pada agama di pesantren. Bebagai macam sesajian atau uba rampe sudah mulai dikurangi, atau bahkan ditinggalkan. Namun kalangan pesantren masih sangat menghormati kepada kyai atau ustad, guru di dalam pesantren tersebut.
• Sementara itu kalangan priyanyi yang sangat menjaga benar kolektivitas kelompoknya dalam menjaga status. Mereka yang notabene tinggal dimasyarakat kota. Dan keinginan kelompok masyarakat priyayi ini terekspresikan dalam kesukaannya pada bentuk hiburan seperti tari, ludruk, tembang dan gamelan.
• Keyakinan adanya kehidupan makluk halus sudah menjadi keyakinan adat di masyarakat Jawa. Misalnya keyakinan kepada Danyang, si penungggu tempat-tempat yang dianggap keramat seperti pohon besar, batu besar, perempatan jalan, tempuran sungai atau kuburan. Karena keyakinan inilah maka orang Jawa biasanya memberikan sesaji di tempat-tempat tersebut. Sesaji diberikan kala orang desa hajatan seperti acara khitanan dan pernikahan. Diharapkan Danyang tidak mengganggu dan upacara lancar. Bagi masyarakat yang kemudian melanggar kebiasaan itu, misalnya tidak memberi sesaji, maka para orang tua akan menasehati, masyarakat akan was-was bila nanti ada gangguan pada pelaksanaan hajatan, masyarakat akan menghubungkan kejadian itu dengan keberadaan sesaji tadi. Atas kejadian ini kelompok masyarakat berusaia muda yang biasanya sudah lebih praktis, akan menurut saja apa kata orang-orang tua meskipun sebenarnya mereka tidak tahu maksudnya.
• Norma sopan santun atau unggah-ungguh dalam masyarakat Jawa masih dipegang teguh. Seperti misalnya anak muda tidak boleh berani sama orang tua. Itu tidak sopan. Anak muda harus menghormati orang tua, baik orang tuanya sendiri maupun orang lain.
Pada kenyataannya banyak orang muda yang berbeda pendapat dengan orang tua, dan itu dianggap orang tua sebagai membantah, tidak patuh dan tidak menghormati orang tua. Oleh karenanya berdasarkan sifat Jawa yang halus sering anak muda terpaksa setuju di hadapan orang tua, meski sebenarnya hatinya menolak. Tetapi itu terpaksa dilakukan agar tidak dianggap sebagai anak tidak menurut atau tidak baik. Cara-cara komunikasi seperti ini dilakukan notabene orang Jawa
• Norma rukun juga sangat dijunjung tinggi dimasyarakat Jawa, dimana dihindari adanya perbedaan pendapat dikalanmgan kelompok yang berbeda-beda. Meskipun berbeda pendapat, kenyataan mereka masih bisa bekerja sama, tersenyum dan membangun hidup yang selaras bersama masyarakat.
• Masyarakat Jawa juga menghargai untuk bisa hidup berkelompok, bersama-sama dan tidak individual atau tidak mementingkan diri sendiri. Mereka biasa hidup tolong menolong, dan bantu membantu dominan sekali sifat sosialnya.
• Norma masyarakat Jawa juga mengagungkan sikap andhap asor atau merendahkan diri, artinya tidak menojolkan kemampuan dan kedudukannya . Sikap ini sangat dipuji sebagai sikap kesatria. Hal ini tercermin dari penggunaan bahasa kromo madya untuk menggambarkan prilaku dirinya sendiri dan kromo Inggil kepada prilaku orang lain. Merka akan menjauhkan sikap dari kesombnongan atau kumalungkung.
• Keselarasan dan keseimbangan merupakan norma masayarakat Jawa. Kehidupan yang seimbang antara masyarakat yang berkedudukan tinggi dan berkedudukan rendah cermin masyarakat yang rukun dan harmonis. Keseimbangan juga dimaksudkan keselarasan yang harmonis antara kehidupan manusia dan mengangungan kepada yang maha kuasa.
• Norma hidup orang Jawa gotong royong seperti dalam acara selametan, mereka berprinsip sepi ing pamrih rame ing gawe. Mereka akan membantu tetangga yang punya hajad tanpa pamrih atau tidak minta upah. Mereka dengan senang hati datang membantu untuk rewang bagi orang perempuan dan sambatan bagi orang laki-laki.
• Tahu diri juga merupakan sikap orang Jawa. Orang harus mampu menyesuaikan diri sesuai dengan kedudukannya. Untuk bekerja dengan sebaik-baiknya. Sebuah ciri keteraturan sosial yang ada dimasyarakat Jawa, agar setiap orang bisa bekerja sesuai status dan kedudukannya masing-masing.

• Cara berkomunikasi orang Jawa masih didomininasi oleh unggah-ungguh, sopan-santun. Terhadap orang lain masih menggunakan bahasa kromo. Artinya ada penghormatanm, ada kehalusan budi dari komunikasi tersebut. Dari komunikasi ini terlihat bahwa masyarakat Jawa sangat menjaga jangan samapai ada pertentangan dan permusuhan. Sehingga justru menimbulkan masalah dimasa kini. Orang Jawa sering mengganggukkan kepalanya sebagai tanda persetujuan. Padahal sebenarnya mereka tidak setuju. Perbedaan pendapat dianggap sebagai konflik. Namun mungkin lama kelamaan konflik itu semakin terpendam, sehingga karena tidak kuat akan muncul ketidak cocokan atau musuhan (padhu). Yang oleh orang Jawa itu dianggap sebagai aib bagi orang-orang yang punya kedudukan.
• Sekarang jaman berubah, kelompok masyarakat Jawa muda sudah mengenal prinsip demokrasi. Namun nilai dan norma Jawa itupun tidak luntur begitu saja. Mereka masih memiliki norma dan nilai penghormatan kepada yang lebih tua, suka menolong hanya saja komunikasi sudah menjadi lebih terbuka dan bisa berterus terang. *****


Disusun oleh: Dian Marhaeni K.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar