Kamis, 02 Juli 2009

HIGH DAN LOW KONTEK KOMUNIKASI MASYARAKAT JAWA

Berdasar analisis buku Tahta Untuk Rakyat dan Etika Jawa


Fenomena komunikasi high kontek berdasarkan kedua buku tersebut bisa di dapatkan gambaran khusus dari komunikasi seorang raja di Jawa yang berpendidikan Barat dapat mewakili kita untuk memahami high dan low kontek komunikasi masyarakat Jawa secara umum.
* Sabdo Pandito Ratu, sekali ducapkan maka ikrar tak bisa dicabut lagi.
Di dalam buku TUR nampak dalam deskripsi ketika Adam Malik Wakil Presiden RI II menawari HB IX untuk kembali menjabat wakil presiden. tetapi HB IX tetap menjawab “tidak” karena beliau telah menyatakan “tidak” ya “tidak”. Sekali ikrar diucapkan maka tidak dicabut lagi.
* Berkomunikasi dengan simbol seperti memaknai harapan dan cita-cita dengan pemberian nama yang baik.
Nama yang merupakan cita-cita dan keinginan orang tua. Contoh dalam buku TUR nama Dorodjatun bermakna derajat yang tinggi, berkedudukan luhur dan berbudi baik walau memegang kekuasaan yang besar. Demikian juga tentang nama gedung dalam keraton, ukiran, pusaka, kereta, hewan piaraan, tanam-tanaman semua di beri nama sebagi simbol sesuatu yang baik.
* Diam, tak banyak bicara sebagai komunikasi yang multi penafsiran
HB VIII ayahhanda HB IX berpisah dengan garwo padmi, mungkin sampai sekarang tidak diketahui dengan jelas sebab musababnya mereka berpisah. Kecuali oleh kerabat dekat sendiri dan biasanya sudah menjadi kelaziman mereka menceritakan kisah di keraton dengan bahasa kias, komunikasi high kontek perlu pemikiran yang mendalam. Sesuatu berita di dalam keraton yang tidak pernah diketahui dengan jelas oleh rakyatnya hal itu sangat dirahasiakan dan bagi rakyat tidak juga patut untuk menanyakannya.
Begitu juga HB VIII ketika menitipkan anak berumur Dorodjatun yang masih berusia 4 tahun dikeluarga Belanda. Pada masanya perlakukan itu sangat kejam karena memisahkan seorang anak dari ibunya. Tetapi tak seorangpun berani bertanya tentang keputusan HB VIII itu bahwa sesungguhnya beliau mempunyai wawasan dan memandang jauh kedepan.
Begitupun diam penuh makna dilakukan Sri Sultan atau HB IX ketika ditanya apakah uang yang dibagikan untuk para pejuang dan keluaganya tak dikembalikan?. Peristiwa membagi-bagi uang ini memang dilakukan Sultan ketika perang kemerdekaan. Karena di masa transisi dari Belanda ke kedaulatan RI, para pegawai dan pejuang tidak ada yang menghidupi. Dengan harta keraton Sri Sultan memberikan uang selama empat bulan berturu-turut untuk kepentingan perjuangan.
Komunikasi diam dan duduk bersedekap juga tampak ketika Sri Sultan menghadapi pasukan Belanda Jenderal Meyer dan Jenderal De Jonge yang menuduk Sri Sultan melakukan teroris dan menggalang latihan tempur di dalam keraton.

* Komunikasi formal antara yang muda kepada yang tua. (basa-basi)
Hubungan ayah dan anak di dalam tradisi keraton berlangsung sangat formal, Sang ayah yang seorang raja haruslah tetap disembah, dihormati dan dipatuhi. Begitupun dalam berkomunikasi harus menggunakan bahasa Jawa halus. Hal itu dirasakan benar oleh Sri Sultan sepulang dari Belanda. Bahwa bahasa pada level tertentu membuat jarak dan tidak nyaman. Ketika itu kapal Denpo merapat di Betawi, kapal yang membawa Dorodjatun atau Sri Sultan dari Belandan, sudah sembilan tahun tidak ketemu ayahanda dan adik-adik. Maksud hati memberi kejutan dengan berakrab-akrab dan berkomunikasi dengan harmonis. Pendidikan Belanda telah menciptanya menjadi sosok yang demokratis. Tetapi waktu itu Dorodjatun sudah dewasa, adik-adiknya paham bahawa kakaknya tersebut adalah putera mahkota. Sehingga begitu dihadapannya maka komunikasi yang terjadi adalah sangat formal. Adik-adik Dorodjatun menyembah dan berbahasa kromo inggil atau Jawa halus yang menjadikan jarak terasa sangat jauh.
* Komunikasi tersirat ( tak jelas)
Penyerahan keris Jaka Piturun di hotel Des Indes di Betawi oleh ayahanda HB VIII bermakna sangat simbolis, meruapan tradisi di keraton jawa barang saipa diserahi pusaka Jaka Piturun maka terkandung maksud si pemberi atau sang raja telah menunjuk sipa penggantinya kelak. Artinya HB VIII telah meyerahkan tahta kepada Dorodjatun.
* Menganggap alam atau peristiwa alam mengkomunikasikan firasat tertentu.
Sebuah firasat petir menggelegar di siang hari tepat ketika HB VIII tiba di Stasiun Tugu konon suatu pertanda ada pembesar yang akan wafat. Dan ini memang kejadian, esok paginya HB VIII yang baru tiga hari bertemu dengan Dorodjatun, meninggal dunia setelah lama menderita sakit. Keyakinan ini memang sudang mendarah daging dalam kehidupan orang Jawa, masyarakat sering mengaitkan peristiwa alam dengan kehidupan raja atau kerabat kerajaan.
* Komunikasi dengan leluhur
Adanya bisikan gaib sebagai petunjuk keputusan untuk menandatangai kontrak politik dengan Belanda. Peristiwa itu terjadi tahun 1940 dimana sebelum dinobatkan menjadi raja terlebih dahulu ditandatangani kontrak politik calon raja dengan Belanda. Perundingan berjalan alot dan sudah memakan waktu empat bulan dan Dorodjatun belum juga menandatangani, dengan alasan kontrak tersebut sangat menguntungkan Belanda dan merugikan Raja serta rakyat jelata. Di tengah kecemasan dan kegelisahan karena terus ditekan Belanda calon HB IX ini mendapat wisik dalam wujud suara ” Tole tekeno, Belanda bakal lungo soko bumi Mataram ” . Dengan wisik ini Dorodjatun esoknya langsung tanda tangan dan tanpa berpikir lagi isi kontrak perjanjian bahkan membacanyapun tidak.

* Komunikasi singkat tetapi bermakna
Ketika Jepang datang di Indonesia, suasana genting, Belanda mengajak empat raja Mataram untuk menyelamatkan diri ke Australia, ajakan ini ditolak mentah-mentah oleh HB IX “ Apapun yang terjadi saya tidak akan meninggalkan Yogya, justru bila bahaya memanas saya wajib berada di tempat demi keselamatan keraton dan rakyat”.
Dan pada saat terjadi pemboman dibeberapa tempat di Yogya Bung Karno dan Bung Hatta sedang ada di gedung negara. Keadaaan semakin genting dan keputusan rapat semua harus meninggalkan gedung kecuali presiden dan wakil dan Sri sultan berkata “ saya harus kembali ke keraton”


* Komunikasi yang merendah dan tidak menonjolkan diri
Saaty itu Sri Sultan baru dalam perjalanan pulang datri bepergian. Di tengah jalan diwilayah Sleman ada wanita menyetop ngarso dalem dan ikut numpang sampai di pasar Kranggan. Wanita tidak tahu sama sekali bahwa mobil dan pengemudi tersebut adalah mobil yang disetir oleh sang raja sendiri. Barulah ketika samapai di pasar ada seseorang yang memberi tahu bahwa itu ngarso dalem, maka ia pingsan.
Kejadian serupa terjadi ketika Sri Sultan distop polisi di perbatasan Jawa Tengah Jawa Barat. Polisi yang tadinya tegas menanyakan rebuwes menjadi gugup ketika tahu pengemudinya adalah Sri Sultan.
Ketika memasuki istana bogor dalam tugas meninjau renovasi istana sopir digertak oleh CPM begitu tahu kalau sri sultan orang itu gagap dan penuh hormat menyuruh beliau masuk. Selanjutnya ketika pulang satu brigade CPM semua memberi hormat.
Demikian juga waktu perjalamnan dari pemalang mobil yang membawa Sri Sultan kehabisan air, lalu dr Halim yang nyetir minta air seember kepada penduduk setempat, seorang wanita. Begitu tahu yang berdiri disamping mobil adalah Sri Sultan maka sontak mulutnya bergumam-gumam mengucap sesuatu yang tidak jelas, mungkin doa, atau semacam istiqfar.

Beberapa contoh tadi menggambarkan komunikasi Sri Sultan dalam tradisi Jawa. Dimana beliau adalah seorang raja yang tinggal di dalam keraton, terikat adat yang kuat, banyak pusaka, berhubungan dengan leluhur, mistis dan ini mewakili masyarakat Jawa pada jamannya. Sedang disisi lain beliau ini berpendidikan Barat, bersikap demokratis berwawasan kedepan. Sosok pribadi Sultan yang asli, senang sepak bola, aktif di kepanduan, pejabat negara yang dapat mewakili orang Jawa jaman ini, jaman kemerdekaan.

LOW KONTEK
Sisi lain kehidupan orang Jawa di luar keraton pasca kemerdekaan telah banyak menggunakan low kontek, termasuk dilakukan oleh Sri Sultan sendiri.
* Pada masa perundingan Sri Sultan menunjukkan komunikasi yang demokratis
* Mengucapkan kawat ucapan selamat atas proklamasi kepada presiden dan wakil presiden RI
* Pernyataan Sri Sultan kepada Presiden dan Wakil bahwa Mataram mengakui kedaulatan Ri dan menjadi bagian, dan siap mendukung RI

Sedangkan dari buku Etika Jawa kami sarikan bahwa dalam kultur masyarakat Jawa terkandung kaidah dasar kehidupan masyarakat Jawa. Pertama adalah rukun atau kerukunan. Dan yang kedua adalah hormat atau penghormatan. Dalam konteks high, akan terlihat dengan jelas ketika orang Jawa sedang berkomunikasi. Meski sebenarnya ia tak setuju, bisa jadi menganggukkan kepala atau tersenyum meski sebenarnya tak suka. “Ya” nya orang Jawa bukanlah ya beneran tetapi sering hanya sebagai penghormatan kepada lawan bicara yang mungkin lebih tua, lebih berpangkat atau lebih berpendidikan. Sikap itu sering dilakukan juga untuk menjaga kerukunan. Yang ketiga ada ndengan apa yuang disebut keselarasan harti. Hal ini tampak sekali dalam ujud komunikasi high kontek, komunikasi yang sering dilakukan secara basa-basi atau kadang berbohong penuh kepura-puraan demi menjaga keselarasan, kerukunan dan penghormatan dalam masyarakat Jawa tradisonal.
Saya kira praktek-praktek komunikasi seperti ini sekarang di era inteletual, kaum terpelajar dan mahasiswa sudah terbuka wawasan, dan komunikasi yang dulu berjalan penuh basa-basi, atau diam, atau penuh kepura-puraan sudah mulai menjadi komunikasi rasional, nyata dan langsung.*******

Oleh : Dian Marhaeni K.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar