Kamis, 02 Juli 2009

ANAK-ANAK DAN IKLAN TELEVISI FENOMENA DEHUMANISASI ANAK PADA IKLAN TELEVISI

A. Eksplotasi anak di iklan televisi.
“ Papaku punya kapal pesiar”, “ Papaku punya kijang Innova”. Itulah kira-kira penggalan dialog pada iklan Toyota Kijang Innova baru-baru ini. Ada tiga anak yang masing-masing membanggakan kekayaan orang tuanya. Dan anak yang ketiga berseru bangga dengan menyebut “papaku punya kijang innova”.
Simak iklan lain seperti iklan bank Mega yang mempromosikan hadiah 400 Daihatsu Xenia. Dan seorang anak perempuan pada akhir penayangan iklan itu berkomentar “ Empat ratus gitu lho”. Lain iklan bank Mega, lain lagi dengan produk elektronik yang menawarkan kalkulator merek Karce, di akhir tayangan iklan tersebut juga muncul komentar anak “ pakai Karce pasti untung, anak kecil saja tahu”. Dan terakhir penulis contohkan tayangan iklan produk elektronik merek LG, yang menanpilkan komentar anak di akhir tayangan iklannya“ EEELLL JJJJIIII”
Empat iklan di atas hanyalah beberapa contoh saja iklan televisi yang belakangan ini menghiasi televisi Indonesia. Iklannya sebenarnya biasa-biasa saja. Yang menarik adalah hadirnya anak-anak dalam tayangan iklan tersebut. Anak-anak dengan kepolosannya telah hadir dengan berbagai karakter. Anak-anak tidak lucu lagi dalam beriklan, karena mereka tampil layaknya orang dewasa yang tahu akan spesifikasi produk yang diiklankannya.
Iklan anak-anak yang hadir dengan bintang anak-anak dengan berbagai macam karakter merupakan fenomena yang menarik di iklan televisi kita. Ada dua jenis tampilan iklan dengan bintang anak-anak tersebut. Pertama iklan hadir dengan bintang anak-anak atau bintang cilik yang khusus mengiklankan produk untuk konsumsi anak-anak. Untuk jenis iklan ini misalnya, iklan makanan dan minuman, iklan susu, iklan multivitamin dan obat-obatan, iklan kebutuhan sekolah dan sebagainya yang intinya iklan ini memang menawarkan produk untuk kebutuhan anak-anak. Dalam iklan ini segmen yang dituju adalah anak-anak atau orang tua yang mendampingi anak ketika menyaksikan iklan di televisi.
Jenis kedua adalah iklan dengan bintang anak-anak, tetapi iklan ini sesungguhnya tidak menawarkan produk untuk konsumsi anak-anak. Iklan ini telah sengaja direkayasa atau hasil kreatifitas tim kreatif periklanan untuk mencapai tujuan tertentu. Segmentasi yang hendak di bidik sebenarnya adalah orang dewasa. Tetapi justru tampilan iklan di pakai anak-anak. Produk yang diklankan anak-anakpun jika mungkin ditanyakan kepada anak-anak atau bintang anak itu sendiri, mereka tidak akan paham pada fungsi atau keunggulan produk yang diiklankannya. Misalnya ketika anak mengiklankan produk peralatan elektronik, perbankan obat-obatan atau bahkan mobil. Anak mungkin benar-benar tidak paham, mereka harus diberi pengertian oleh orang tuannya terlebih dahulu.
Tetapi itulah kenyatannya , saya menyebutnya eksploitasi anak-anak dalam periklanan televisi. Karena anak-anak dengan sifat kanak-kanaknya telah dilibatkan dalam kegiatan periklanan untuk mencapai tujuan tertentu, tanpa anak-anak tersebut menyadarinya. Dan pada dasarnya pelibatan ini mutlak untuk memenuhi kepentingan orang dewasa. Lalu siapakah yang punya kepentingan di dalamnya, orang tua, media, produk, atau siapa ?

B. Anak-anak mamandang dunianya yang murni
Kalau kita perhatikan tampilan anak anak sebagai bintang di iklan televisi, usia mereka berkisar antara 5 sampai dengan 12 tahun. Secara psikologi usia anak-anak tersebut dikategorikan usia kanak-kanak. ( Burlock, 1994, hal: 108 ) Pada usia tersebut anak-anak mengalami perkembangan pesat baik secara fisik, berbicara, emosi dan perilaku sosialnya. Anak juga mengalami perkembangan dalam kemampuan bahasanya
Di usia ini anak mengalami pertumbuhan pesat pada jaringan otak dan jaringan syarafnya. Di mana anak mulai belajar bersosialisiasi dengan lingkungannya. Karena baru dalam taraf belajar dan anak baru mengenal dunia yang baru di pelajarinya maka pikiran anak-anak ibarat kertas putih yang belun ada gambarnya. Masih sangat polos dalam mempersepsi lingkungannya. Sehingga dalam taraf ini masih dibutuhkan peran aktif orang tua dalam membimbing dan mendidik anak-anak ini. Dalam usia ini pula peran orang tua menjadi sangat dominan.
Menurut Kartini Kartono, pakar psikologi anak, dalam keadaan normal pikiran anak-anak usia sekolah dasar berkembang secara berangsur-angsur dan secara tenang. Anak betul-betul dalam stadium belajar, dan minat anak pada stadium ini adalah minat sekali pada sesuatu yang bergerak. ( Kartini Kartono, 1995 hal. 138). Ditambahkan minat kepada sesuatu yang bergerak ini akan membantu bagi si anak dalam merangsang daya kreatifitasnya. Sebaliknya bila anak terbiasa tidak bergerak seperti menonton televisi, justru akan menghambat kreatifitasnya. (Ummi, edisi Mei, hal:48) Seyogyanya memang anak dilibatkan dengan aktifitas tubuh bergerak karena ini sesuai dengan kemampuan dan kesukaannya terhadap sesuatu yang bergerak yang menjadi dunianya.
Di dalam masa ini yang lebih menonjol pada kehidupan anak-anak dalam perkembangan otaknya adalah bahwa anak-anak mengalami kehidupan fantasi. ( Kartini Kartono, 1995) Tidak heran jika anak-anak menyukai cerita fantasi seperti dongeng atau film fantasi tentang dunia luar angkasa yang ditontonnya di televisi. Anak kemudian mengembangkan imajinasinya memasuki dunia yang penuh fantasi ini. Kadang kemudian anak membayangkan menjadi tokoh atau bersifat seperti tokoh dalam fantasinya. Anak juga mempunyai imajinasi menjadi bintang, baik penyanyi atau pemain sinetron atau bintang iklan di televisi. Sehingga anak akan senang sekali melihat tampilan anak-anak yang lain di televisi.
Selain itu dunia anak-anak tak lepas dengan aktifitasnya yaitu bermain. Sehingga seorang pakar psikologi anak mengatakan bahwa dunia anak-anak adalah bermain. Pada masa awal anak-anak disebut juga tahap mainan, karena dalam periode ini hampir semua permainan menggunakan mainan. Dan pada akhir masa kanak-kanak atau menjelang anak memasuki remaja ia ingin memainkan permainan-permainan “dewasa”. (Elizabeth B. Hurlock. 1994…..) Permainan dewasa yang dimaksud bisa berupa peniruan peran-peran orang dewasa pada masa akhir masa anak-anak sekitar umur 12 tahun. Bisa pada cara berbusana atau kebiasaan orang dewasa.
Masih oleh Hurlock, dikatakan juga bahwa kesukaan bermain pada anak akan sangat ini ditentukan oleh kematangan dalam bentuk permainan tertentu dilingkungan di mana ia dibesarkan. Misalnya anak yang sangat cerdas menyukai permainan sandiwara, kegiatan-kegiatan kreatif, dan buku-buku yang bersifat informasi daripada yang hanya bersifat menghibur. Pada dasarnya kegiatan anak cerdas dalam hal ini adalah permainan yang dinamis. Pada kesukaannya terhadap media, anak senang melihat film kartun, binatang dan film rumah yang menggambarkan anggota keluarga. Anak-anak juga senang mendengarkan radio, tetapi lebih senang melihat televisi. Mereka senang melihat acara untuk anak-anak. Karena acara ini selain dekat dengan dunianya, acara anak-anak lebih mudah dipahami bagi anak-anak.
Sementara itu pada perkembangan minat pada anak, ditekankan oleh Hurlock bahwa anak lebih menunjukkan minat pada diri sendiri, yang ini didapat melalui banyak cara. Yang paling sering adalah mengamati dirinya melalui kaca, mengamati bagaimana tubuh dan pakaiannya, mengajukan pertanyaaan tentang dirinya, membandingkan milik dan prestasi dirinya dengan milik dan prestasi temannya., membanggakan milik dan prestasinya atau mengganggu untuk menarik perhatian ( Hurlock, 1994 Hal. 128)
Anak-anak dalam kehidupannya juga mengenal dunii meniru. Karena pada taraf belajar, anak memang mencontoh pada orang tua atau kehidupan orang di sekitarnya. Pada awal masa anak-anak kegiatan ini menjadi sangat dominan. Oleh karenanya anak-anak menjadi suka meniru orang dewasa, mereka mengimitasi kebiasaan orang luar dari keluarganya, juga dengan melalui media yang ditontonnya. Peniruan ini dilakukan terhadap tampilan anak-anak ataupun orang dewasa. Dan focus perhatian anak adalah pada tampilan pakaian. Tetapi Biasanya anak meniru gaya berdandan orang dewasa, bermake up seperti orang dewasa, berbusana dan berbicara meniru gaya orang-orang dewasa. Hadirnya televisi di rumah membuat anak banyak berimprovisasi dengan gaya-gaya iklan. Mengimitasi cara berkomunikasi iklan baik dengan bintang anak-anak atau orang dewasa. Anak-anak juga mengimitasi perilaku, pakaian dan gaya hidup para bintang di televisi.
Anak-anak secara psikologis akan merasa aman dalam kasih sayang orang tua. Dengan kasih sayang orang tua, anak akan merasa terlindungi dan aman dalam bermain, belajar atau berprestasi. Anak yang tidak mendapatkan kasih sayang yang cukup dari orang tuanya, dalam benaknya merasa tidak aman, tidak ada yang melindungi, sehingga dalam pergaulan lingkungan sosialnya anak bisa menjadi minder dan ketakutan.
Anak memiliki hak sepenuhnya dari orang tuanya akan kasih sayang, perlindungan. Menurut pakar dan pemerhati anak, Seto Mulyadi, hak untuk tumbuh dan berkembang bagi anak ini termasuk hak untuk memperoleh bimbingan dan pendidikan dengan cara-cara yang benar, sehingga seluruh potensi yang dimiliki anak dapat berkembang secara optimal. (Irwan prayitno, 2003. hal vi)
Anak-anak juga disebut memasuki masa ego, rasa ini akan berkurang seiring dengan bertambahnya usia. Sifat ego ini menggambarkan semua keinginan anak harus dituruti. Ada yang menyebutnya juga “kemaratu-ratu”. Seperti raja yang keinginannya harus dipenuhi dalam waktu itu juga. Agaknya sifat ini yang benar-benar dimanfaaatkan oleh media atau produk untuk merancang persuasi bagi anak-anak. Seperti pada tayangan acara dan rancangan iklan anak-anak.
Karena sifat anak-anak yang ego, kasih sayang, bermain dan belajar juga karena kondisi psikisnya yang masih sangat labil maka anak masih sangat tergantung pada orang tua. Sehingga peran orang tua menjadi dominan dalam mengarahkan masa depan anak-anaknya. Bagaimanapun sikap dan perilaku orang tua menentukan dan membangun perkembangan konsep diri bagi anaknya. Cita-cita orang tua terhadap anaknya berperanan dalam mengembangkan konsep dirinya. Kalau harapan orang tua terlalu tinggi anak cenderung gagal. Dan kegagalan ini bagi si anak oleh Hurlock dikatakan akan meninggalkan bekas yang tidak terhapuskan pada konsep diri dan dan meletakkan dasar-perasaan rendah diri dan tidak mampu ( Hurlock, 1994, hal. 132)
Kepentingan anak untuk berprestasi
Selain itu dunia anak mengenal dunia berkreasi. Dalam taraf ini kreratifitas mencapai puncaknya. Anak mulai belajar berekspresi. Di dalam dunia yang penuh fantasi, anak sering membayangkan dirinya sendiri, bagaimana bila ia menyanyi dan jadi penyanyi, jadi bintang sinetron, bintang iklan, jadi juara dan sebagainya. Anak kemudian mewujudkan keinginannya ini dalam bentuk cita-cita yang tinggi. Setelah anak mencapai 12 tahun ia mengalami tahap lengkap dan komplit dimana anak-anak memiliki ciri rohani dan jasmani yang baik, ketenangan dan pengendapan perasaan, minat yang besar dan segar terhadap macam peristiwa, ingatan yang sangat kuat, dorongan ingin tahu yang besar dan semangat belajar yang tinggi ( Kartini Kartono, 1995, hal 145).

Kepentingan anak terhadap produk
Karena sifat menirunya ini maka anak punya kepentingan terhadap produk. Maksudnya bahwa anak-anak ingin merasakan, ingin menggunakan produk-produk seperti yang diiklankan di televisi. Karena sifat kanak-kanaknya ini maka anak ingin kebutuhannya di penuhi oleh orang tuanya. Produk apa saja bagi anak yang ini merupakan kebutuhan hidupnya seperti, makanan, minuman, mainan dan sebagainya. Tetapi ini sejauh pada kepentingan untuk merasakan dan menikmati produk. Adanya fenomena iklan untuk mempromosikan produk iklan dewasa semata-mata bukan kepentingan si anak atau menggaet pasar anak. Ini fenomena lain, bahwa anak-anak dilibatkan dalam iklan produk orang dewasa, jelas bahwa ada kepentingan orang dewasa yang masuk di dalamnya.
Secara ekonomi anak memang belum berkepentingan dengan urusan mencari nafkah, anak ada dalam lindungan orang tua dan hidup dengan nafkah orang tua. Adanya anak-anak yang bekerja di bawah umur adalah kasuistik atau bisa dikatakan tidak wajar. Ada alasan ketika anak harus bekerja dan mencari nafkah, dalam hal ini karena terpaksa atau dipaksa oleh pihak ketiga untuk mencari nafkah. Dan ini melanggar UU perlindungan anak.
Tampilnya anak-anak di media karena prestasi atau hobi adalah berkaitan dengan prestasi si anak. Anak menyadari dan tahu benar kepentingannya ketika ia tampil di media menyanyi atau menjadi bintang iklan. Karena arahan dan bimbingan orang tua. Tetapi lama-kelamaan tampilan anak tersebut sudah dimanfaatkan oleh orang tuanya atau orang lain untuk kepentingan produk.
Untuk kepentingan ini pula maka anak-anak dalam segmentasi tersendiri juga telah dimanfaatkan oleh iklan televisi. Kepolosan anak-anak dijadikan lahan empuk. Banjirnya acara anak-anak ditelevisi bukan tanpa alasan. Segmen anak telah mendatangkan keuntungan besar bagi kalangan media. Munculnya televisi yang dengan tegas mengatakan bahwa media nya adalah media khusus untu anak atau televisi anak menjawab semuanya. Meski baru memiliki ijin tayang sejabotabek, Space Toon, televsisi khusus anak ini menghadirkan acara anak hingga jam satu malam.
Hadirnya televisi anak menunjukkan itu juga.bahwa segmentasi anak-anak adalah lahan pada yang sangat potensial dari segi ekonomi. Watak polos anak-anak yang secara psikologis memiliki sifat segala keinginannya dituruti saat itu juga diambil kesempatan oleh media untuk meraup keuntungan. Salah satu caranya adalah dengan mempengaruhi persepsi anak-anak terhadap suatu produk dengan iklan-iklan yang hadir sesuai dengan imajinasi anak.
Sehingga anak-anak akan tertarik, dan mempengaruhi atau minta kepada orang tua mereka untuk membelikannya. Padahal pada mulanya dengan iklan anak maka yang di dapat produk adalah pasar anak sekaligus orang tua. Karena anak tidak bisa membeli sendiri produk tetapi minta bantuan orang tua. Model iklan seperti ini telah dimanfaatkan benar oleh produk makanan tertentu di iklan televisi. Dengan membidik anak sebagai bintang iklan dan diiklankan pada acara anak maka yang diperoleh dua sasaran pasar sekaligus. Yaitu orang tua dan anak.
Hanya diiming-imingi hadiah mainan yang tidak bisa dibeli di manapun, maka anak-anak akan tertarik untuk membeli produk makanan tersebut bersama keluarga, orang tua kakak, nenek, pembantu sampai sopirnya. Trik iklan model ini sepertinya kemudian ditiru oleh iklan produk lain yang menginginkan sasaran gana dalam satu kali iklan. Khususnya untuk produk makan cepat saji.
Namun fenomena hadirnya iklan anak yang dimanfaatkan mengiklankan produk orang dewasa adalah hal lain. Anak juga telah dilibatkan untuk mengenalkan gaya hidup tertentu kepada orang dewasa. Dalam kasus ini kata-kata “ anak kecil saja tahu”, atau “papaku punya kijang Innova” adalah kata-kata yang menunjukkan posisi, “ aku ini siapa”. Memandang pada status dan posisi seseorang di lingkungannya. Konsep seperti ini secara psikologis belum ada dalam pandangan anak-anak.

C. Kapitalisme dan komersialisme media
Hadirnya 11 stasiun televisi ditahun 2005 mau tidak mau, menciptakan era kompetisi stasiun televisi yang cukup ketat. Berbagai ragam acara dicipta sesuai dengan kemampuan lembaganya masing-masing. Salah satu strategi yang jitu adalah menciptakan acara dengan biaya yang rendah dan mendatangkan iklan berlimpah untuk acara tersebut. Bagi stasiun televisi yang masih muda usia, kebijakan ini ditempuh untuk menjaga keberlangsungan hidup lembaga televisi. Bagi stasiun televisi yang sudah eksis, hadirnya iklan yang berlimpah tetap menjadi tujuan utamanya. Stasiun televisi mulai menumpuk keuntungan dan melakukan ekspansi baik horizontal maupun vertical. Jadilah kemudian dominasi kepemilikan saham atau dobel kepemilikan pada lebih dari satu stasiun televisi.
Media dengan kepemilikan dominan tunggal ini memunculkan system kompetisi yang unik. Masing-masing stasiun televisi meskipun mulai menampilkan sasaran khalayak yang lebih khusus meski tetap memiliki format acara yang relatif seragam. Masing-masing televisi berusaha melakukan posisioning untuk menjadi televisi khas dan memiliki pemirsa yang lebih spesifik. Program acara juga dirancang spesifik untuk memenuhi selera pemirsa yang spesifik. Karena competisi ini pula muncul fenomena acara seragam, layaknya dalam dunia bisnis, maka apa yang laku itulah yang dijual.
Sejauh ini acara yang memikat, popular di stasiun televisi yang satu, maka sebentar kemudian muncul acara serupa di stasiun televisi yang lain. Tampilan luarnya mungkin berbeda, sudah ada kombinasi sana-sini yang katanya menjadi berbeda. Walaupun kalau dicermati isinya sama saja. Acara model begini biasanya ditiru karena ratingnya tinggi. Dan ini berarti semakin tinggi kesempatan televisi meraup iklan. Tentu pertimbangan ini juga akan kembali lagi kepada alasan ekonomi. Bagaimanapun format acara mampu mendatangkan keuntungan bagi pemilik modal.
Bicara tentang pemilik modal tentu tidak lepas dari kepemilikan media televisi. Dan uniknya kepemilikan media televisi di Indonesia memiliki latar belakang yang khas. Meski dasarnya adalah pemilik modal, sesungguhnya tidak semua pemilik modal bisa mendapatkan ijin untuk membuka stasiun televisi baru di Indonesia. Sebut saja misalnya, ketika Husein Naro, BGW Budiarto dan Peter Gontha di masa orde baru mengajukan izin penyiaran local di Yogyakarta. Tawaran ini akhirnya terabaikan dan izin diberikan dengan mudah kepada PT Sanitya Mandara Televisi yang mengajukan permohonan kemudian. ( Hermin IW, 2000 hal 114)
Namun terlepas dari kenyataaan ini bagaimanapun peranan pemilik modal sangat dominan dalam perintisan sebuah media. Karena ternyata Televisi Pendidikan Indonesia yang mendapatkan ijin operasi untuk televisi pendidikan, kenyataannya masih dibantu peralatan dan pegawai dari TVRI pada waktu itu. Begitupun, RCTI, yang juga pemilik modal berawal dari keluarga penguasa PT Bimantara group . Nyatanya masih mendapatkan faasilitas-fasilitas pemerintah waktu itu.
Di Indonesia TVRI dan hadirnya RCTI, SCTV dan TPI sepertinya adalah televisi yang berbeda tetapi pemilik sahamnya terbesarnya sebenarnya dipegang oleh para pemilik modal yang sudah eksis di Indonesia dan tidak kebetulan bahwa mereka adalah kalangan keluarga penguasa. Penguasa baik secara politis maupun ekeonomi yang sekaligus pemilik modal. Bertambahnya stasiun televisi dari tahun ke tahun, seperti munculnya AN TV, Trans TV, Metro TV, TV7, Global TV dan televisi anak Space Toon, belum lagi TV local yang menunjukkan kepemilikan media akan kembali kepada para pemilik modal atau penguasa bisnis di Indonesia dan daerah.
Tentu saja 11 stasuiun televisi nasional sudah cukup membuat repot pengelola televisi untuk berkompetisi secara sehat. Berbagai kreatifitas program acara dengan berbagai metode yang buntutnya adalah meraup keuntungan sebanyak-banyaknya dari pemirsa dan relasi media televisi dilakukannya. Mungkin beberapa tahun yang lalu, televisi cukup mengandalkan iklan. Sebuah strategi implicit yang dilakukan media untuk meraup keuntungan dari pemirsanya. lSehingga tayangan yang menarik minat pemirsanya sudah cukup sebagai strategi masuknya iklan yang terus bertambah.
Semakin majunya teknologi komunikasi di Indonesia dan semakin interaktifnya peran pemirsa yang tidak lagi sebagai penonton pasif, adalah sebuah peluang yang tidak dibiarkan berlalu begitu saja oleh kalangan media. Kemudian dirancanglah berbagai program acara interaktif yang meminta respon pemirsa secara langsung. Dengan media telepon seluler dan sms interaktif, media memanfaatkan pemirsa untuk berlaku aktif melakukan polling dan dialog berdalih dukungan, jajak pendapat dn apalah namanya, yang pada intinya bagian biaya yang dikirimkan pemirsa melalui polling akan masuk ke kantong media.
Ternyata cara ini cukup fantastis, dengan iming-iming hadiah bagi pengirim sms yang beruntung, ternyata hasilnya luar biasa. Bagaimana tidak. Melalui acara kirim sms acara AFI ( Akademi Fantasi Indosiar) untuk Indosiar dan Indonesion Idol untuk RCTI, KDI (Kontes Dangdut TPI) untuk TPI, dan baru-baru ini API, Kondang In, Afi Junior dan sebaginya tanpa diduga mampu mendatangkan keuntungan secara langsung, dalam jumlah cukup besar kepada pemiliki media. Dengan slogan-slogan persuasif yang ditujukan kepada permirsa untuk mendukung kepada bintang favoritnya, pemirsa telah dimanfaatkan media untuk memberi keuntungan kepadanya.
Lalu keuntungan ini akan kembali ke siapa?, ya kepemilik media. Siapa pemilik media, ya pemilik modal. Dan pemilik modal itu di Indonesia, bisa dikatakan adalah kalangan pemain atau pelaku bisnis yang pada dasarnya adalah orang-orang lama. Sebut saja Aburizal Bakri, Liem Siu Liong, Bambang Triatmojo, Siti Hardiyanti Rukmana dan belum lagi lembaga-lembaga media cetak yang mulai merambah televisi seperti TV7 dan Metro TV. Dan sekarang kepemilikan saham yang relatif signifikan terdapat pada kepemilikan saham RCTI, TPI dan Global TV.
Ini kapitalisme. Dan kembali kepada peran iklan, untuk kepentingan penumpukan kapital, iklan adalah sarana ampuh bagi media untuk memberikan masukan kapital yang semakin hari akan terus bertambah. Tidak salah jika kemudian televisi-televisi baru yang muncul mengambil langkah untuk menciptakan acara hiburan yang situasional. Yang penting biaya produksi bisa ditekan, acaranya digemari pemirsa dan masukan iklannya banyak.
Hadirnya banyak iklan pada tiap acara-acara favorit yaitu acara-acara yang menempati waktu utama penayangan acara di televisi antara jam 19.00 sampai dengan jam 21.00, pada waktu-waktu ini dikenakan aturan harga yang lebih tinggi pada tayangan acara. Meskipun bertarif lebih tinggi, tampilnya iklan pada penayangan jam utama ini relatif lebih banyak pemasangnya. Pertimbangannya karena pad jam-jam ini pemirsanya juga paling banyak. Dan ini keuntungan bagi media. Disamping lebih banyak iklannya harga durasi iklan juga berlipat.
Media tinggal menghitung berapa banyaknya keuntungan dengan mengambil peluang jam utama. Apalagi jika mata acara memasuki rating sepuluh besar, rata-rata 11 hingga 23 bahkan lebih pada setiap jeda iklan. Dan biasanya acara-acara favorit pemirsa ini terdapat pada stasiun televisi yang sudah eksis. Seperti RCTI, SCTV, Indosiar dan TPI. Agaknya langkah-langkah perancangan program acara televisi model ini akan segera ditiru oleh stasiun televisi yang lain. Atau bisa jadi karena televisi-televisi yang relatif belum eksis ini punya SDM yang handal dan cukup kreatif segera menyusul memiliki banyak acara yang ratingnya sepuluh besar.
Kembali ke pemilik media, keuntungan yang diperoleh televisi pada dasarnya akan lembali kepada pemilik modal. Apalagi kalau bukan kapitalisme media. Karena kemudian media juga menciptakan strategi merancang acara yang akan membuat pemirsanya terikat dan sayang bila melewatkannya. Pemirsa dibuat tergantung dengan acara media, apa yang dimaui pemirsanya akan dipenuhi media. Diciptakan acara bersambung, hiburan bersambung sehingga mengikat pemirsanya untuk tetap hadir di depan media. Media menciptakan system yang sengaja membuat pemirsanya hadir di depan media. Mumpung pemirsa mau, mumpung suka, sekali laku dan sebagainya, sehingga media akan terus berlomba-lomba menampilkan acara televisi yang memikat pemirsanya. Seolah olah media hadir untuk pemirsa, media siap memenuhi selera pemirsa, walau dibelakangkanya sebenarnya media memanfaaatkan pemirsa untuk menjadi lahan pasar bagi perolehan iklan.]
Media juga memanfaatkan pemirsa untuk ikut berpartisipasi dalam berbagai acara, semacam dialog dan musik. Acara dibentuk dengan kemudahan penggunaan teknologi komunikasi dimana dialog langsung, tanggapan langsung, usulan langsung ataupun pertanyaan bahkan pengobatan langsung bisa di peroleh melalui perantaraan media. Padahal dengan metode tanggapan langsung pemirsa, harga per sms bisa melonjak hingga lima kali lipat. Cara ini yang kemudian dikatakan bahwa media memanfaatkan pemirsa secara langsung dengan dalih bahwa pemirsa ikut berpartisipasi dalam acara, dan ada hadiah ditiap akhir acara.
Pada acara sehari-hari, kemunculan ragam acara di televisi seperti acara kerohanian, maka sesungguhnya adalah keinginan media untuk menggaet pangsa pasar di kalangan pemeluk tersebut. Terbukti acara-acara rohani ditempatkan pada jam-jam dimana jarang ditonton oleh pemirsanya. Semisal dini hari, atau pagi sekali setelah Subuh. Demikian juga dengan acara anak-anak. Anak-anak menjadi lahan empuk bagi media, baik untuk menciptakan acara anak ataupun melibatkan anak-anak dalam berbagai acara yang buntutnya sebenarnya adalah mencari keuntungan dengan melibatkan anak-anak. Keuntungan di dapat dengan meraih pangsa pasar anak-anak atau melibatkan secara wajar atau mengeksploitasi anak-anak dan menjadikannya perantara terhadap keinginan orang tua. Artinya jadi sama saja, kepentingan iklan atau media itu sendiri yang ditujukan kepada orang tua. Anak adalah alatnya. Ada dua kepentingan di sini, di satu sisi iklan, anak-anak dieksploitasi atas nama iklan untuk kepentingan iklan itu sendiri dalam hal ini adalah produk atau pemilik produk. Dan sisi lainnya adalah media karena iklan ada untuk kepentingan media, yang dalam hal ini pemilik modal.

D. Kapitalisme produk.
Kemajuan ekonomi, kemajuan teknologi di berbagai bidang, kemudahan sektor perbankkan, distribusi, stabilitas harga dan daya beli menciptakan kemajuan yang signifikan pada kemajuan sektor ekonomi produksi. Berbagai ragam produk hadir mememnuhi kebutuhan masyarakat sehari-hari. Ragam produk diciptakan, semakin hari semakin berkreasi, tidak saja pada kreasi produk lama tetapi juga menciptakan produk baru, dan membangun pasar baru.
Kemajuan sector ekonomi ini tidak hanya berimbas kepada penciptaan produk untuk memenuhi kebutuhan konsumen, tetapi juga menciptakan kebutuhan baru, yang selama ini tidak terpikirkan orang untuk membutuhkannya, apalagi membelinya dan mengkonsumsinya. Misalnya pewangi pakaian, tisu basah, handphone dan sebagainya, yang pada dasarnya adalah produk baru. Produk ini muncul, dan oleh pembuatnya sengaja dimunculkan kebutuhan baru bagi konsumen.
Bervariasi produk, dihasilkan dari proses kreatifitas produk. Penciptaaan produk baru, pengulangan produk, kombinasi dan sebagainya. Produk apa saja kemudian dipasarkan asal laku. Karena alasan ini maka produksen menciptakan iklim pemenuhan kebutuhan kepada segmen yang lebih khusus. Misalnya dengan merek produk yang sama diciptakan selera yang berbeda-beda. Dengan produk makanan yang sama diciptakan aroma yang berbeda-beda. Model seperti ini hanya salah satu kiat bagaimana perusahaan, pemilik modal menciptakan strategi ketergatungan konsumen terhadap produk tertentu. Dan produksen menjaga dengan hati-hati agar konsumennya tidak lari ke produk lain. Bagaimana perusahaaan atau produksen berupaya agar konsumen tetap setia dan mau tidak mau harus menggunakan produk tersebut secara rutin dan berkesinambungan. Misalnya dengan pemberian hadiah, potongan harga, bonus, pelayanan purna jual dan sebagainya. Hal itu semata-mata dilakukan untuk mengikat konsumen agar tetap menggunakan produk. Dengan demikian keuntungan bagi perusahaan akan terus mengalir.
Seiring dengan pesatnya perusahaan maka terjadi persaingan produk, persaingan produk satu dengan lainnya dibawah bendera perusahaan yang sama maupun persaingan antara perusahaan yang berbeda. Masing-masing produk menonjolkan keunggulannya. Hapir semuanya mengatakan dirinya atau produknya adalah nomor satu. Meski kenyataannya akan kembali kepada konsumen. Konsumen yang mengambil keputusan untuk tetap menggunakan produk itu atau pindah ke produk lain.
Adapun demi untuk memenuhi selera konsumen dan mempertahankan penjualan, penciptaan produk pada perusahaan memiliki kharakter khas, yang tujuannya mempertahankan pembelian dari para konsumennya dalam rentang waktu yang panjang. Misalnya. Pemakaian obat nyamuk tidak benar-benar membunuh nyamuk, tetapi hanya mengusirnya. Dengan memakai pertimbangan ini maka konsumen tetap mengkonsumsi terus produk obat nyamuk. Kalau obat nyamuk sampai membunuh nyamuk, besuk-besuk konsumen tidak ada lagi yang beli obat nyamuk. Begitu juga obat sakit kepala hanya berfungsi untuk penyembuh sementara. Suatu saat jika konsumen sakit kepala ia akan memilih menggunakan produk obat tersebut. Pertimbangan ini kembali pada alasan ekonomi. Kalau obat benar-benar menyembuhkan sampai tuntas maka tak ada lagi orang sakit kepala alias tidak ada yang beli obat.
Begitu berlangsung hampir pada semua produk perusahaan secara terus menerus. Kapitalisme produk, dimana karena alasan penumpukan kapital, penciptaan produk dirancang sedemikian rupa, sehingga tercipta ketergantungan pemakaian atau pembelian. Dan salah satu strateginya adalah melalui iklan atau periklanan. Iklan televisi adalah prioritas bagi produk yang ingin dikenal dan selalu diingat bagi pemirsanya, iklan televisi adalah jaminan produknya dikenal. Melalui iklan televisi calon konsumen memperoleh informasi mengenai produk. Melalui iklan televisi pula merek produk dikenal dan menjadi bahan pertimbangan dalam menentukan membeli produk.
Iklan produk di televisi juga simbol bagi masyarakat bahwa produknya berkualitas. Masyakat awam akan mempertimbangkan kembali suatu produk, bila memang produk itu belum dikenal atau belum populer. Dan salah satu media untuk mengenal produk tersebut adalah melalui iklan media televisi. Iklan televisi memiliki kelebihan jankauan yang luas, dan efek audio visualnya yang membuat gambar lebih hidup dan lebih menarik di perhatikan pemirsanya. Sehingga dengan karakternya yang audio visual televisi sangat efektif sebagai sarana penayangan iklan.
Dengan karakternya yang khas pula, iklan mempengaruhi konsumennya untuk mengetahui produk. Dan dengan keingintahuannya konsumen akan mengetahui, memahami dan bersikap. Karena itulah kreatif media periklanan memasang strategi dengan berbagai pilihan alternatif iklannya, untuk menciptakan iklan kreatif dan dikenal masyarakat. Strategi juga diciptakan dengan tujuan meraup pangsa pasar tertentu melalui pihak ketiga. Dalam hal ini pihak ketiga bisa berupa anak-anak. Pengambilan tokoh anak-anak dimaksudkan karena anak-anak memiliki kelebihan. Yaitu kelebihan kedekatan dengan orang tua, kasih sayang orang tua, perlindungan orang tua. Dan melalui anak-anak adalah jurus jitu karena orang tua akan sangat memperhatikan anak-anaknya. Anak-anak tidak saja dimanfaatkan keluguannya untuk mengiklankan produk, atau menjual produk yang tidak dipahaminya. Tetapi anak-anak juga dimanfaatkan oleh kreatif periklanan dalam menawarkan gaya hidup tertentu kepada khalayak orang dewasa dan anak-anak.

E. Dehumanisasi anak
Fenomena pelibatan anak-anak dalam periklanan yang secara nyata bahwa anak telah dimanfaatkan untuk kepentingan ekonomi, tanpa anak tersebut menyadarinya adalah dehumanisasi. Disini terjadi eksploitasi anak-anak. Anak-anak yang dalam dunianya yang wajar adalah memasuki dunia bermain, dunia belajar, mengenal lingkungannya. Anak dengan kepolosan dan keluguannya tersebut telah dimanfaatkan untuk kepentingan pihak tertentu yaitu kreatif iklan, produk atau perusahaan. Bahkan anak tidak tahu atau tidak menyadari, bahwa ia telah dimanfaatkan untuk kepentingan iklan di media dalam untuk meraup keuntungan.
Awalnya mungkin anak hanya senang bisa menjadi bintang iklan, atau bisa terkenal, tetapi efeknya sangat simultan kepada para pemirsa yang sebagian besar adalah anak-anak. Anak-anak yang polos belum memahami, apa kehebatan produk elektronik, apa kehebatan produk mobil tertentu, namum terpaksa ia mengiklankan produk yang tidak diketahuinya itu. Kalaupun anak kemudian mau menjadi bintang iklan produk tersebut, itu bukan atas kemauannya. Maunya anak menjadi bintang iklan, itu mungkin terjadi. Tetapi kemauan untuk menjadi bintang iklan produk orang dewasa belum tentu ia mengetahuinya. Seberapa pengetahuan anak tentang perbangkan, elektonik dan mobil.
Tampilnya anak-anak tersebut kemudian berimbas pada pemirsa anak-anak. Anak-anak tanpa memahami bagaimana kondisi ekonomi orang tua dan memahami apakah produk itu berfungsi atau tidak bagi dirinya, akan mempengaruhi orang tua mereka. Iklan di media mempengaruhi sikap konsumerisme pemirsa melalui perantaran anak-anak. Dengan demikian iklan media juga menanamkan sikap konsumerisme sejak dini kepada anak-anak.
Tayangan anak dalam iklan televisi ini secara simultan memberikan dampak kepada sifat anak-anak untuk merongrong orang dewasa atau orang tuanya tanpa anak itu menyadarinya. Ini inti maunya iklan, maunya produk dan maunya media. Dan tanpa bisa menghindar karena teman-teman di lingkungannya juga melakukan hal yang sama. Apalagi dunia bermain anak-anak sekarang sudah sangat dekat dengan televisi. Televisi sudah menjadi tontonannya sehari-hari.
Menurut Sasa Djuarsa, seorang pakar komunikasi mengatakan bahwa pesan komunikasi kian mudah diingat dan efektif bagi pemirsanya bila dinyatakan berulang-ulang. Secara sistematis Sasa menyatakan bahwa,
Faktor-faktor yang memperkuat dampak media massa adalah :
1. eksposure
2. kredibilitas
3. konsonansi
4. signifikansi
5. sensitive
6. situasi kritis ( Sasa Djuarsa, 2004, hal:6)
Pada tahap exposure ini yang mengandung pengertian bahwa semakin sering dan semakin berulang mendapatkan terpaan oleh media massa maka akan semakin efektif memberi dampak kepada pemirsanya.
Pelibatan anak-anak di dalam iklan televisi ini juga tidak lepas dari motivasi atau ijin orang tua ketika mengikhlaskan anaknya menjadi bintang iklan produk orang dewasa. Mungkin orang tua hanya ingin anaknya terkenal dan jadi bintang. Tanpa memahami bahwa anaknya telah dimanfaatkan kepolosannya tersebut oleh iklan. Dan tidak mungkin anak berinisiatif sendiri untuk menjadi bintang iklan. Mereka masih terlalu kecil dan belum memahami bakat pada dirinya.
Pelibatan anak-anak dalam iklan saja sebenarnya juga mengaburkan sifat anak-anak tentang kejujuran. Karena dalam kreatif pembuatan iklan sering dipakai rekayasa-kekayasa yang tidak asli untuk menyangatkan penanpilan produk yang dapat menarik pemirsa. Misalnya ada produk es krim, agar es krim dalam tayangan iklan kelihatan legit dan lezat menggoda, maka dipakailah bahan tepung. Demikian pula produk shampo yang menyuruh modelnya mengggunakan pewarna rambut warna ungu agar rambut sang model kelihatan legam. Ini hanya contoh trik periklanan, sebuah usaha komersial. Dan ini belum pantas menjadi dunia anak-anak. Untuk kepentingan komersialisasi, kepentingan iklan dan media ini anak-anak telah direnggut sifat kanak-kanaknya. Anak-anak tidak lagi jujur sesuai dengan sifatnya, tetapi ia bisa berbohong, menipu sesuai dengan keinginan periklanan, karena ia terlibat langsung dengan proses periklanan itu.
Karena kepentingan produk, maka kreatif strategi periklanan melibatkan anak-anak sebagai sarana promosi perusahaan dalam rangka meningkatkan penjualan. Anak-anak juga terikat dengan keinginan orang, karena awalnya keterlibatan dalam iklan tersebut di karenakan peran orang tua yang kepingin anaknya tenar sebagai bintang iklan, dan menghasilkan uang. Karena penikmat pertamanya adalah orang tua. Hal yang paling tragis adalah dampak iklan itu sendiri pada pemirsa anak-anak. Pola anak menjadi sangat komersial, anak-anak menjadi materialis dan tidak social terhadap lingkungannya.
Sesuai dengan konvensi PBB tentang hak-hak anak yang juga diratifikasi oleh pemerintah Republik Indonesia 1990, hak-hak anak juga tertuang dalam Undang-undang RI N0 23 tahun 2002. Pada intinya dijelaskan bahwa anak-anak memiliki hak sepenuhnya untuk dapat hidup, tumbuh dan berkembang dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapatkan perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Anak-anak juga memiliki hak-haknya yang paling hakiki sebagai anak. Juga hak untuk memperoleh bimbingan dan pendidikan dengan cara-cara yang benar. Sehingga seluruh potensi yang dimiliki anak dapat berkembang secara optimal. (Irwan Prayitno, 2003, Vi) Anak-anak seyongyanya di bimbing orang tua dengan kasih sayang, dan contoh-contoh keteladanan yang bisa dipahami anak, sehingga anak menjadi berperilaku santun dan berbudi pekerti yang baik. Anak-anak sungguh belum paham dijadikan alat periklanan dalam menampilkan life style tertentu kepada pemirsanya. Dalam Pedoman Tata Krama Periklanan Indonesia juga disebut tentang pelarangan terhadap keterlibatan anak-anak dalam mengiklankan produk yang tidak untuk kepentingan anak-anak. Karena ini bukan pemberian informasi secara benar kepada publik. *****























Daftar Pustaka

Elizabeth B. Hurlock, 1994, Psikologi Perkembangan, Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan, Penerbit Erlangga Jakarta.
Frank Jefkin, 1997, Periklanan, Penerbit Erlangga, Jakarta.
Hermin Indah Wahyuni, 2000, Televisi dan Intervensi Negara, Kontek Politik Kebijakan Publik Industri Penyiaran Televisi pada Era Orde Baru, Media Pressindo, Yogyakarta.
Irwan Prayitno, Dr, 2003, Anakku Penyejuk Hatiku, Penerbit Pustaka Tarbiyatuna, Bekasi.
Kamus Besar Bahasa Indonesia,1995, Balai Pustaka, Jakarta
Kartini Kartono, 1995, Psikologi Anak, penerbit mandar maju, Bandung.
Majalah Ummi, edisi Mei 2005.
Sasa Djuarsa Sendjaja, (2004), Teori Komunikasi, Diktat Kuliah.
Tata Krama Periklanan Indonesia, 1999
Undang-undang RI N0 23 Tahun 2002

Tidak ada komentar:

Posting Komentar